Blogger Widgets

Puasa di Bulan Ramadhan Hukumnya Wajib


Secara etimologi, kata puasa yang dalam bahasa arabnya Shaum, artinya menahan diri dari sesuatu yang buruk dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Sedangkan menurut Ulama fiqih, puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan puasa pada siang hari, dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
 
SYARAT WAJIB PUASA
  1. Beragama islam
  2. Baliqh, tidak diwajibkan bagi anak-anak, tetapi bagi ayah dan ibu  hendaklah melatih anaknya sebisa mungkin.
  3. Aqil (berakal), tidak duwajibkan bagi orang yang gila.
  4. Bisa atau mampu mengerjakannya.
  5. Suci dari haids dan nifas bagi perempuan.

RUKUN PUASA
  1. Niat, yaitu sengaja dalam hati pada tiap-tiap malam puasa, waktunya dari tenggelam matahari sampai terbit fajar.
  2. Menahan makan, minum dan menjauhi segala yang membatalkan puasa.
 YANG MEMBATALKAN PUASA
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Adapun hal-hal yang membatalkan puasa dan mesti ditinggalkan selama berpuasa itu ialah:
a.         Makan dan minum. Dalilnya adalah Firman Allah swt :
 



dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnkanlah puasa itu sampai (datang) malam,... (Al-Baqarah/2: 187).
Dalam hal ini masuknya sesuatu ke rongga badan atau ke rongga kepala melalui jalan terbuka, mulut, hidung atau telinga dianggap sama dengan makan dan membatalkan puasa.
Jadi bila orang yang puasa itu makan atau minum dengan sengaja, atas kemauan sendiri, sadar bahwa ia sedang berpuasa, dan tahu bahwa perbuatan itu haram, batallah puasanya. Demikian pula, bila ia memasukkan air ke hidung atau ketelinganya sehingga sampai ke rongga kepalanya, puasanya batal. Ini sesuai dengan hadits :


Apabila engkau beristinsyaq, maka lakukanlah sejauh mungkin, kecuali engkau sedang berpuasa.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa air istinsyaq itu akan mem­batalkan puasa jika sampai ke rongga kepala. Dan demikian pulalah hukumnya semua benda yang masuk sampai ke rongga perut atau, rongga kepala, baik melalui mulut, hidung atau yang lainnya.
b.     Al-Huqnah, yakni memasukkan sesuatu ke dalam rongga melalui kemaluan dubur atau qubul.
c.    Muntah dengan sengaja, sekalipun diyakinkan tidak ada yang kembali masuk setelah keluar ke mulut. Nabi saw bersabda,
 



Barang siapa muntah secara terpaksa ketika puasa, ia tidak wajib mengqadha puasanya, dan barang siapa yang sengaja muntah ia wajib meng-qadha
Akan tetapi, bila seseorang muntah dengan tidak sengaja, atau dengan sengaja, tetapi tidak mengetahui haramnya, atau muntah karena dipaksa, maka puasanya tidak batal,
d.     Bersetubuh, walaupun tidak sampai keluar mani. Ini didasarkan atas Firman Allah swt.:
 
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur de­ngan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu-pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. (Al-Baqarah/2:187).
 Allah menghalalkan bersetubuh pada malam hari. Ini berarti bahwa hal itu tidak dibenarkan pada siang harinya ; dan bila dilakukan akan membatalkan puasa.
 d.     Keluar mani dengan sebab mubasyarah (sentuhan kulit tanpa alas), mencium dan sebagainya. Akan tetapi keluar mani tanpa bersen­tuhan kulit, misalnya dengan sebab pandangan atau karena mimpi tidak membatalkan puasa.
  e.    Melakukan sentuhan, seperti ciuman, yang menggerakkan syahwat, hukumnya haram, tetapi tidak membatalkan puasa kecuali disertai keluar mani. Alasannya ialah bahwa dalam hadits Jabir, Rasulullah saw, menyerupakan ciuman dengan berkumur-kumur. Jabir berkata :
Saya melakukan ciuman ketika puasa, lalu saya datang dan bertanya kepada Rasulullah saw., "Saya melakukan ciuman ketika puasa." Be­liau balik bertanya, "Apa pendapatmu kalau engkau berkumur-kumur (bukankah hal itu tidak membatalkan puasa)?".
Berkumur-kumur tidak membatalkan puasa selama tidak ada air yang masuk kembali ke rongganya, jadi demikian pulalah halnya menci­um, tidak membatalkan puasa kecuali disertai keluar mani.
  f.  Haid. Para ulama telah ijma' bahwa orang yang sedang haid haram, dan tidak sah berpuasa. Jadi, bila haid terjadi pada seseorang yang sedang berpuasa tentulah puasanya menjadi batal,
  g.  Nifas. Nifas adalah darah haid yang terkumpul, dan tertunda kelu­arnya. Jadi hukumnya sama dengan darah haid.
  h.  Gila, karena keadaan gila menghilangkan kecakapan beribadah.
  i.    Riddah (murtad), karena orang kafir tidak sah melakukan ibadah.
Orang yang melakukan puasa wajib tidak dibenarkan membatalkan puasanya tanpa uzur dan ia wajib mengqada bila membatalkannya dengan sengaja. Kemudian,- khusus untuk tindakan membatalkan puasa Ramadhan, selain mewajibkan qadha, dapat pula mewajibkan kaffarah. Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang membatalkan puasanya dengan melakukan jima' pada siang hari bulan Ramadhan diwajibkan membayar kaffarah. Ini didasarkan atas hadits:
Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Celaka saya!" Rasulullah bertanya, "Apa yang membuatmu celaka?''Jawabnya, "Saya menggauli isteri saya pada bulan Ramadhan. "Rasulullah bertanya, "Apa­kah engkau dapat memerdekakan budak?"Jawabnya, "Tidak." Kata Rasulullah, "Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-tu­rut?" Jawabnya, "Tidak. "Rasulullah bertanya lagi lagi, "Apakah engkau dapat memberi makan 60 orang miskin?"Jawabnya, "Tidak." Kemudian orang tersebut duduk, dan setelah itu Rasulullah datang membawa sebuah bejana (al-‘araq) berisi tamar dan berkata, "Sadaqah-kanlah tamar ini." Orang itu berkata, "Kepada orang yang lebih fakir dan kamikah? Demi Allah, di lingkungan itu tidak ada keluarga yang lebih memerlukan tamar ini daripada kami. "Rasulullah saw. tertawa sehingga tampak gerahamnya, dan berkata, "Pergilah, dan beri makan keluargamu dengannya. (Muttafaq 'Alayh).
 Menurut Syafi'i, kewajiban kaffarah itu hanya berlaku atas laki-laki, tidak atas perempuan, sebab dalam hadits ini, Nabi saw. tidak menyebut wajibnya atas isteri laki-laki tersebut. Akan tetapi, Abu Hanifah, Malik dan para pengikut mereka berpendapat perempuan yang merelakan di­rinya dijima' juga wajib membayar kaffarah. Lebih dari itu, bahkan mere­ka mewajibkan kaffarah atas orang yang membatalkan puasanya dengan makan atau minum. Mereka ini memandang bahwa kewajiban kaffarah itu tidak terkait dengan jenis perbuatan yang membatalkan puasa, melainkan dengan pelanggaran atas kehormatan puasa itu sendiri,  jadi, makan dan minum sama saja hukumnya dengan jima'.
SUNNAH  PUASA
Hal-hal yang disunnahkan dalam pelaksanaan puasa ialah :
1.  Menyegerakan berbuka bila telah nyata terbenam matahari, sesuai dengan hadits Nabi saw.:
Manusia akan senantiasa baik, selama mereka menyegerakan berbuka. (Muttafaq 'Alayh).
 Oleh karena itu, makruh hukumnya melambatkan berbuka dengan sengaja dan mamandang hal itu sebagai kebaikan. Nabi saw, biasa­nya berbuka lebih dahulu sebelum shalat magrib seperti tersebut dalam hadits :
 
Bahwasanya bila Nabi saw. berpuasa, biasanya beliau tidak melakukan shalat (magrib) sebelum diberi rut ab (kurma segar) atau air, beliau ma­kan atau minum (terlebih dahulu), dan pada musim dingin pun, beliau tidak melakukan shalat (magrib)sebelum kami memberinya tamar atau air. (HR. Ibn Hibban).

Nabi saw, berbuka sebelum melakukan shalat, dengan beberapa buah kurma segar; bila tidak ada, maka dengan tamar, dan bila tidak ada tamar maka dengan meminum beberapa teguk air, sebab air itu menyucikan.
Berdasarkan hadits-hadits ini diketahui pula bahwa sebaiknya orang yang puasa itu berbuka dengan memakan kurma segar, bila ada, atau tamar bila tidak ada kurma segar, dan selanjutnya, bila tidak ada tamar maka dengan meminum air.
Berbuka puasa hendaknya disertai dengan do'a, seperti :
 2.  Melambatkan makan sahur.
Orang yang akan puasa disunnahkan makan pada waktu sahur sebab makan sahur itu membawa berkat, sesuai dengan sabda Nabi saw.,
 

Makan sahurlah kamu, sebab pada sahur itu terdapat berkat.
Tuntutan untuk makan sahur itu, walaupun sedikit, demikian pentingnya sehingga Nabi saw. menganjurkan melakukannya walaupun hanya dengan meminum seteguk air.
 Dalam sebuah hadits Nabi bersabda :

Makan sahurlah kamu, walaupun dengan seteguk air saja.(HR. Ibn Hibban).

Waktu untuk makan sahur itu mulai sejak tengah malam. Akan tetapi, agar lebih kuat menjalani puasa, seseorang disunnahkan melambatkan makan sahurnya ke penghujung malam, selama tidak timbul keraguan bahwa fajar telah terbit. Melambatkan makan sahur ini, didasarkan atas anjuran dan amal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw.
Umatku akan senantiasa baik, selama mereka menyegerakan berbuka dan melambatkan sahur. (HR. Ahmad).
 
Dikatakan orang kepada A'isyah ra. bahwa Abdullah selalu menyegerakan berbuka dan melambatkan makan sahur, la menjawab, "Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw.
 Selain itu juga disunnahkan meninggalkan syahwat yang tidak membatalkan puasa seperti : mencium wangi-wangian sebab tidak sesuai dengan hikmah puasa; berbekam sebab dapat melemahkan diri; dan mencicipi makanan karena dikuatirkan akan tertelan. Juga di-sunnahkan mandi junub sebelum fajar, agar ia suci sejak awal puasa­nya, memperbanyak membaca dan mudarasah al-Qur'an khususnya pada bulan Ramadhan, dan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan seperti yang biasa dilakukan oleh Nabi saw.

 KEDUDUKAN IBADAH PUASA
Bulan Ramadhan disebut Syahrur Rahmah yakni bulan yang mana Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa.
Rasulullah SAW bersabda :
"Sesunguhnya didalam surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa masuk melalui pintu itu pada hari kiamat, tidak seorang pun masuk melalui pintu itu kecuali mereka." ( H.R. Bukhari dan Muslim ).
Ibadah puasa Ramadhan menempati kedudukan yang utama dalam islam. Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun  (sendi / tiang) dari rukun-rukun islam. Jika di ibaratkan islam adalah suatu bangunan rumah, maka puasa merupakan salah satu tiangnya. Seorang muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa, kemudian ia sengaja tidak melaksanakannya maka ia dianggap meruntuhkan bangunan keislaman dalam dirinya.
 Rasulullah SAW bersabda :
"Didirikan islam itu atas lima sendi, yaitu : Mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SA W adalah utusan Allah SWT, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah." ( H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar  r.a )
Kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Al qur'an, sunnah (hadist), dan ijma (ulama fiqih). Para ulama fiqih sepakat bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib dan orang-orang yang mengingkarinya dianggap kafir.

HlKMAH IBADAH PUASA
Setiap ibadah dalam islam, baik yang hukumya wajib / sunnah, tentu akan mendatangkan hikmah apabila ibadah itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya dan dengan niat ikhlas karena Allah SWT dan sesuai dengan tuntunan syariat islam (Hukum Islam). Demikian juga ibadah puasa apabila dilaksanakan sesuai dengan syarak, syarat rukunnya, sunah-sunahnaya, dan adab-adabnya serta dilandasi dengan niat ikhlas karena Allah SWT untuk memperoleh ridaNya dan rahmatNya tentu akan mendatangkan hikmah dan manfaat yang banyak.
Allah SWT berfirman:
"Dan bila kamu berpuasa, niscaya hal itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahuinya."
Tujuan diwajibkannya ibadah puasa Ramadhan adalah agar orang-orang beriman yang melaksanakan ibadah puasa itu menjadi orang-orang yang bertaqwa yakni yang berdisiplin dalam beribadah, giat dalam beramal shaleh, serta membiasakan diri dengan sikap terpuji dan meninggalkan sikap perilaku tercela, sehingga hidupnya berguna.
Ibadah puasa itu merupakan ibadah yang memerlukan kesabaran dalam melaksanakannya. Umat islam yang tidak memiliki sifat sabar tentu tidak akan dapat melaksanakan ibadah puasa. Dalam berpuasa umat islam dilatih agar memiliki dan menerapkan tiga macam sabar,  yaitu : sabar dalam mentaati perintah Allah SWT, sabar dalam mengendalikan diri dari berbuat maksiat, dan sabar dalam mengalami penderitaan, jika umat islam mampu menjalankannya maka ia akan meraih pahala sabar yang tidak ternilai.
Menurut penelitian para dokter dengan mengerjakan ibadah puasa berarti mengosongkan lambung perut dari tumpukan makanan. Hal ini berguna untuk mengosongkan perut dan mengistirahatkan otot-otot pencernaan sehingga dapat berkontraksi lebih sempurna sehingga menjadikan tubuh sehat dan kuat.

Daftar Pustaka :
A.Hanafi, MA. 1962. Ushul Fiqh. Jakarta : Wijaya.
Ash - Shiddieqy. 1954. Pedoman Puasa. Jakarta : Bulan Bintang.
Da'ud, Ma'mur. 1983. Terjemah Hadist Shahihi. Jakarta: Wijaya.
Achmadi Wahid dan Muhammad Syakur. 2004. Pendidikan Agama Islam. Klaten : Cempaka Putih.
www.mytapin.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER